Utarakan, utarakan, utarakan
Mengutip sebaris lirik dari Banda Neira.
seperti berputar dalam alunan. Menjadi bait penyemangat.
"Other people doesn't need our story". Kalau kata pinterest, apa yang terlihat di dunia maya, belum tentu seperti di dunia nyata. Kurang lebih begitu. Terkadang kita sering melihat story teman, sahabat, tetangga, dan lainnya, ada yang berkeluh kesah, ada yang penuh keriangan, dan sebagainya.
Pernah juga, berfikir bahwa apakah seharusnya seperti itu. Setiap diri hendak mengikuti apa yang sedang marak dalam khalayak maya, menjadi tren yang setiap orang juga "harus" seperti itu. Supaya dikatakan normal. Sejenak berfikir "apakah harus seperti itu juga".
Secara sadar atau tidak, kini kehidupan kita menjadi konsumsi publik. Setiap kejadian yang kita alami, bahkan setiap detik apa yang kita lakukan, tempat yang dikunjungi, kesedihan yang dialami, seperti harus dijadikan cerita. Bukankah ini justeru membuka peluang bagi orang lain untuk menambah dosa, melalui ghibah, fitnah, dll.
Ketika yang selalu update dikatakan normal karena mengikuti tren, sedangkan yang nertutup dan jauh dari jangkauan cerita dunia maya, dianggap kurang update dan ketinggalan mode.
Apa perlu? setiap kesedihan dipublikasikan? Apa harus, meminta dan berdoa disebutkan pada publik melalui media online?
Ini hanya perdebatan yang terjadi dan dialami oleh penulis sendiri. Untuk memilih dan memilah antara mempertahanlam prinsip atau justeru ikut pada arus yang terjadi.
Tetapi fakta yang menyedihkan, penulis pun terkadang hilang kendali dan haluan. Tidak menyadari bahwa belenggu dan candu sosial media semakin mencekam.
Tetapi, yang patut diperhatikan adalah harus ingat prinsip, fleksibel dan luwes. Ikut boleh asal sesuai batas dan kewajaran.
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah bagaimana menjada diri sebagai perempuan. Ingat ya perempuan... Kurangi selfi dan upload foto pribadi.
Ini hanya sebagai pengingat diri yang masih sering lalai dan tergoda manisnya filter pada media sosial.
Tidak ada yang salah dan benar. Setiap orang memiliki hak untuk berekspresi dan menyampaikan keinginannya. Kata pepatah "dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu". Tak bisa kita menilai, tak boleh kita menuding. Lebih baik lihat bagaimana diri sendiri. Menyesuaikan dan mengambil tindakan.
Lalu apa kaitan dengan judul epic diatas? itu hanya pemanis.
seperti berputar dalam alunan. Menjadi bait penyemangat.
Lihatlah bunga di sana bersemi
Mekar meski tak sempat kau semai
Dan suatu hari badai menghampiri
Kau cari ke mana, dia masih di sana
Mekar meski tak sempat kau semai
Dan suatu hari badai menghampiri
Kau cari ke mana, dia masih di sana
Walau tak semua tanya
Datang beserta jawab
Dan tak semua harap terpenuhi
Ketika bicara juga sesulit diam
Utarakan, utarakan, utarakan
Datang beserta jawab
Dan tak semua harap terpenuhi
Ketika bicara juga sesulit diam
Utarakan, utarakan, utarakan
Pernah juga, berfikir bahwa apakah seharusnya seperti itu. Setiap diri hendak mengikuti apa yang sedang marak dalam khalayak maya, menjadi tren yang setiap orang juga "harus" seperti itu. Supaya dikatakan normal. Sejenak berfikir "apakah harus seperti itu juga".
Secara sadar atau tidak, kini kehidupan kita menjadi konsumsi publik. Setiap kejadian yang kita alami, bahkan setiap detik apa yang kita lakukan, tempat yang dikunjungi, kesedihan yang dialami, seperti harus dijadikan cerita. Bukankah ini justeru membuka peluang bagi orang lain untuk menambah dosa, melalui ghibah, fitnah, dll.
Ketika yang selalu update dikatakan normal karena mengikuti tren, sedangkan yang nertutup dan jauh dari jangkauan cerita dunia maya, dianggap kurang update dan ketinggalan mode.
Apa perlu? setiap kesedihan dipublikasikan? Apa harus, meminta dan berdoa disebutkan pada publik melalui media online?
Ini hanya perdebatan yang terjadi dan dialami oleh penulis sendiri. Untuk memilih dan memilah antara mempertahanlam prinsip atau justeru ikut pada arus yang terjadi.
Tetapi fakta yang menyedihkan, penulis pun terkadang hilang kendali dan haluan. Tidak menyadari bahwa belenggu dan candu sosial media semakin mencekam.
Tetapi, yang patut diperhatikan adalah harus ingat prinsip, fleksibel dan luwes. Ikut boleh asal sesuai batas dan kewajaran.
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah bagaimana menjada diri sebagai perempuan. Ingat ya perempuan... Kurangi selfi dan upload foto pribadi.
Ini hanya sebagai pengingat diri yang masih sering lalai dan tergoda manisnya filter pada media sosial.
Tidak ada yang salah dan benar. Setiap orang memiliki hak untuk berekspresi dan menyampaikan keinginannya. Kata pepatah "dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu". Tak bisa kita menilai, tak boleh kita menuding. Lebih baik lihat bagaimana diri sendiri. Menyesuaikan dan mengambil tindakan.
Lalu apa kaitan dengan judul epic diatas? itu hanya pemanis.
Komentar
Posting Komentar