(Dialektika) Posting: kebutuhan atau kebiasaan?
Bagian ini merupakan cuilan dari tulisan sebelumnya. Beberapa hal yang masih membuat penulis belum menemukan pijakan yang tepat karena kegoyahan.
Sebelum membahas poin utama maksud tulisan ini, penulis ingin mengutarakan nilai yang penulis ambil dari seseorang sebagai pertimbangan atau bahan mengapa tulisan ini harus dilanjutkan.
Lebih kurang sudah tujuh tahun berteman, bersahabat, bahkan bisa dikatakan seperti saudara.
Masa-masa awal, kami masih sering menemukan pertentangan, perselisihan, bahkan pernah pada suatu waktu kami saling diam. Hingga orang lain menegur dan bertanya "kenapa, kok seperti berjauhan". Tetapi, meskipun demikian, kami memiliki preferensi terhadap sesuatu yang hampir sama.Catatan : hampir sama. Karena faktanya, preferensi dia jauh lebih baik dari penulis, dan dia jauh lebih maju dari penulis terkait dengan perasaan.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, bukan juga waktu yang panjang karena belum mencapai satu dekade. Tetapi, tentu saja berteman dan mengenal orang lain ada hal yang dapat kita pelajari.
Lalu, apa sebenarnya arah tulisan ini?
Terkait tulisan minggu lalu tentang Utarakan, utarakan, utarakan yang membahas perdebatan, gejolak pikiran penulis terhadap sesuatu yang sering ada pada media sosial.
Kali ini penulis hanya ingin menyampaikan bahwa penulis memiliki teman, sahabat, bahkan saudara yang sudah tujuh tahun ini pernah berusaha memahami dan mengalah, mengerti dan memaklumi. Orang ini yang kadang bahkan sering, banyak memberian pelajaran. Mulai dari silent,apa ya istilah yang tepat. Seperti diam atau menyembunyikan, atau lebih seperti tidak menampakkan.
Tidak menampakkan kesedihan, tidak menampakkan luka, tidak menampakkan kepemilikan, tidak menampakkan kemewahan. Padahal, penulis tau, dia itu....orang yang mampu , memiliki , dan serba ada . Tapi, dia pintar karena tidak seperti yang lain yang mengumbar di media sosial atas apa yang dia miliki.
Sebenernya tidak hanya dia, beberapa orang yang dikenal dan dekat dengan penulis juga masih ada yang tidak terlalu "open" dengan mengunggah kegiataannya di media sosial. Padahal, jika dibandingkan dengan yang lain yang sering upload-upload, malah memiliki pencapaian yang jauh lebih baik.
Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan, bahwa pada suatu waktu, penulis mengamati sekitar, melihat orang-orang, teman-teman di media sosial dan lingkungan. Kenapa ingin sekali tidak menampakkan apa-apa yang dimiliki ke media sosial.Alasannya , takut . Takut dibilang pamer, takut dibilang sombong. Tapi alasan tepatnya karena malu, serasa gak perlu untuk menampakkan dan memberitahu pada dunia. toh dunia tahu sendiri tanpa harus menjelaskan. Langit berwarna biru bukan dia yang mengatakan, tapi manusia. Alasan lainnya, terinspirasi dari orang diatas tadi, dan juga dukungan nasehat pak suami.
Kita mungkin bisa mengendalikan hati dan pikiran kita, tapi kita tidak bisa mengendalikan hati dan pikiran orang lain.
Bukan bermaksud berburuk sangka, hanya perlu mengantisipasi. Adakalanya orang mendukung apa yang kita lakukan dan turut berbahagia dengan apa yang kita capai. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada yang tidak suka terhadap apa yang kita miliki dan akhirnya justeru memancing kebencian dan iri hati. Itu sebabnya, selagi kita dapat menggindari, kenapa kita menjadi pemicu. Bahkan sudah dijelaskan lebih bagaimana bahaya 'ain.
(tulisan ini tidak akan membahas tentang 'ain, referensi dapat dibaca dari sumber lain yang lebih jelas)
Penulis sendiri masih berusaha dan belajar, bukan berarti sudah benar sehingga berani mengutarakan. Kita memiliki pendapat dan juga prinsip. Selama prinsip yang kita miliki tidak merugikan orang lain, tidak ada salahnya.
Beberapa hal yang pernah penulis amati terkait media sosial, dapat mengelompokkan orang-orang yang mengupload rutinitas atau hal-hal yang mereka lakukan.
Pertama , media sosial dianggap sebagai kebutuhan .
Bagian ini biasanya digunakan untuk membangun citra diri seseorang. Media sosial digunakan oleh para influencer, tokoh, pedagang online yang memanfaatkan medsos untuk mempromosikan produk mereka.
Kedua , media sosial yang menjadi kebiasaan. Bagian ini media sosial menjadi candu, racun dan kebiasaan. Seperti istilah humblebrag, dari kebiasaan-kebiasaan menunjukkan rutinitas yang dilakukan ketika secara tidak langsung terdapat keinginan untuk dilihat, diketahui dan diakui. Candu seperti efek dopamin yang membuat orang untuk terus dan terus, lagi dan lagi.
Kita mungkin memang berbeda ketika berada pada dunia nyata dan dunia maya. seperti sebelumnya tadi, mungkin kita banyak bicara di dunia nyata, terutama kepada orang terdekat, saling bertukar cerita, berbagi perasaan dan lainnya tetapi tidak terlalu banyak berbicara di dunia maya dengan menampakkan apa yang sedang di alami melalui status dan story.
Kebahagiaan dan kenyamanan setiap orang berbeda-beda. Bagaimana se nyaman kita menikmati kebahagiaan tersebut yang terkadang tidak perlu orang lain tau, atau bahkan orang lain harus tau kalau kita sudah bahagia. Ini yang perlu diperhatikan, jangan jangan bahagia yang kita alami hanya kepalsuan.
Sekali lagi, benar salah bukan sesuatu yang mutlak dalam menjalankan sosial media. Setiap orang memiliki hak masing-masing. Pengguna yang bijak tentu harus bisa menghargai satu sama lain terutama menghargai perasaan oran lain.
Note:sudah lewat tujuh tahun ya ... :)
Sebelum membahas poin utama maksud tulisan ini, penulis ingin mengutarakan nilai yang penulis ambil dari seseorang sebagai pertimbangan atau bahan mengapa tulisan ini harus dilanjutkan.
Lebih kurang sudah tujuh tahun berteman, bersahabat, bahkan bisa dikatakan seperti saudara.
Masa-masa awal, kami masih sering menemukan pertentangan, perselisihan, bahkan pernah pada suatu waktu kami saling diam. Hingga orang lain menegur dan bertanya "kenapa, kok seperti berjauhan". Tetapi, meskipun demikian, kami memiliki preferensi terhadap sesuatu yang hampir sama.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, bukan juga waktu yang panjang karena belum mencapai satu dekade. Tetapi, tentu saja berteman dan mengenal orang lain ada hal yang dapat kita pelajari.
Lalu, apa sebenarnya arah tulisan ini?
Terkait tulisan minggu lalu tentang Utarakan, utarakan, utarakan yang membahas perdebatan, gejolak pikiran penulis terhadap sesuatu yang sering ada pada media sosial.
Kali ini penulis hanya ingin menyampaikan bahwa penulis memiliki teman, sahabat, bahkan saudara yang sudah tujuh tahun ini pernah berusaha memahami dan mengalah, mengerti dan memaklumi. Orang ini yang kadang bahkan sering, banyak memberian pelajaran. Mulai dari silent,
Tidak menampakkan kesedihan, tidak menampakkan luka, tidak menampakkan kepemilikan, tidak menampakkan kemewahan. Padahal, penulis tau, dia itu....
Sebenernya tidak hanya dia, beberapa orang yang dikenal dan dekat dengan penulis juga masih ada yang tidak terlalu "open" dengan mengunggah kegiataannya di media sosial. Padahal, jika dibandingkan dengan yang lain yang sering upload-upload, malah memiliki pencapaian yang jauh lebih baik.
Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan, bahwa pada suatu waktu, penulis mengamati sekitar, melihat orang-orang, teman-teman di media sosial dan lingkungan. Kenapa ingin sekali tidak menampakkan apa-apa yang dimiliki ke media sosial.
Kita mungkin bisa mengendalikan hati dan pikiran kita, tapi kita tidak bisa mengendalikan hati dan pikiran orang lain.
Bukan bermaksud berburuk sangka, hanya perlu mengantisipasi. Adakalanya orang mendukung apa yang kita lakukan dan turut berbahagia dengan apa yang kita capai. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada yang tidak suka terhadap apa yang kita miliki dan akhirnya justeru memancing kebencian dan iri hati. Itu sebabnya, selagi kita dapat menggindari, kenapa kita menjadi pemicu. Bahkan sudah dijelaskan lebih bagaimana bahaya 'ain.
(tulisan ini tidak akan membahas tentang 'ain, referensi dapat dibaca dari sumber lain yang lebih jelas)
Penulis sendiri masih berusaha dan belajar, bukan berarti sudah benar sehingga berani mengutarakan. Kita memiliki pendapat dan juga prinsip. Selama prinsip yang kita miliki tidak merugikan orang lain, tidak ada salahnya.
Beberapa hal yang pernah penulis amati terkait media sosial, dapat mengelompokkan orang-orang yang mengupload rutinitas atau hal-hal yang mereka lakukan.
Bagian ini biasanya digunakan untuk membangun citra diri seseorang. Media sosial digunakan oleh para influencer, tokoh, pedagang online yang memanfaatkan medsos untuk mempromosikan produk mereka.
Kita mungkin memang berbeda ketika berada pada dunia nyata dan dunia maya. seperti sebelumnya tadi, mungkin kita banyak bicara di dunia nyata, terutama kepada orang terdekat, saling bertukar cerita, berbagi perasaan dan lainnya tetapi tidak terlalu banyak berbicara di dunia maya dengan menampakkan apa yang sedang di alami melalui status dan story.
Kebahagiaan dan kenyamanan setiap orang berbeda-beda. Bagaimana se nyaman kita menikmati kebahagiaan tersebut yang terkadang tidak perlu orang lain tau, atau bahkan orang lain harus tau kalau kita sudah bahagia. Ini yang perlu diperhatikan, jangan jangan bahagia yang kita alami hanya kepalsuan.
Sekali lagi, benar salah bukan sesuatu yang mutlak dalam menjalankan sosial media. Setiap orang memiliki hak masing-masing. Pengguna yang bijak tentu harus bisa menghargai satu sama lain terutama menghargai perasaan oran lain.
Note:
Komentar
Posting Komentar